Duh,Polisi Miskin Tidur di Kandang Sapi
SLEMAN –Beginilah wajah Polri kita. Kapolrinya yang baru disetujui DPR punya rekening hingga Rp 54 miliar. Tetapi anak buahnya tidur di kandang sapi.
Itulah yang terjadi pada anggota Polda DIY Bripda Muhammad Taufik Hidayat.
Polisi muda yang baru lulus dari SPN (Sekolah Polisi Negara) Selopamioro akhir tahun 2014 itu tidak punya rumah. Bersama bapak dan tiag adiknya dia tidur di bekas kandang sapi di Sleman. Bahkan karena tidak punya sepeda motor dia harus ke kantor jalan kaki sejauh 7 kilo meter.
Miris memang melihat rumah polisi muda putra dari pasangan Triyanto dan Martinem ini.
Bangunan semi permanen di Jongke Tengah, Sendangadi, Mlati, Sleman itu menjadi tempat tinggalnya. Padahak itu dulunya difungsikan sebagai kandang sapi oleh kelompok peternak di kampungnya. Lalau dialih fungsikan sebagai tempat bernaung bagi Ayah dan ketiga adiknya.
Tak berada jauh dari bangunan tersebut, masih berdiri kandang dengan sapi-sapinya. Bau kotoran sapi sudah menjadi kesehariannya.
Dinding Batako tidak menutup semua bangunan tersebut, ada rongga besar yang menganga dan hanya tertutup kain. Begitu pula pintu rumahnya yang juga terbuat dari kain seadanya. Apabila hujan turun tentu saja air akan masuk ke dalam rumah yang tidak terlindung sepenuhnya itu.
Apabila cuaca dingin, hanya selimut yang bisa menghangatkan keluarga itu.
Tak ada lemari di rumah tersebut. Baju-baju Taufik termasuk seragamnya hanya menggantung di besi yang melintang dalam kamar. Kasur yang digunakan pun sudah kotor dan berlubang. Hingga kapuk-kapuk di kasur bisa menyembul keluar.
Cerai
Mulanya memang Taufik sekeluarga hidup satu rumah. Akan tetapi setelah orang tuanya bercerai dua tahun lalu, dia bersama ayah dan ketiga adiknya terpaksa hidup di bangunan yang sangat sederhana itu. Rumahnya terdahulu dijual oleh ibu kandungnya dengan maksud untuk membeli rumah yang baru.
Akan tetapi uang hasil penjualan tersebut tidak cukup untuk membeli rumah, akhirnya mereka mendapat sumbangan bangunan dari kelompok ternak dari kampung untuk ditinggali. Sedang ibunya saat ini hidup bersama suaminya yang baru.
“Saya berangkat ke kantor dari rumah jalan kaki, karena hal tersebut saya terlambat dinas, dan harus dihukum oleh atasan,” ujar Taufik ketika ditemui di ruamhnya, Rabu (14/1).
Itu terjadi Senin (12/1/2015) lalu, saat dia baru saja masuk di satuan Sabhara Polda DIY.
Sebelumnya saat pendidikan, Taufik tinggal di asrama. Hari pertamanya diwarnai hukuman, karena dia terlambat datang untuk apel pagi yang seharusnya pukul 06.30, tetapi dia baru bisa sampai di Polda DIY pukul 08.00.
Bagaimana tidak terlambat. Taufik harus jalan kaki sejauh lebih dari 5 kilometer. Taufik mengaku mulai berangkat sejak Subuh, sebelum matahari mulai bersinar. Selain berjalan, kadang-kadang dia berlari untuk mengejar waktu.
Taufik sendiri tidak mempunyai kendaraan bermotor. Yang diapunya adalah colt pick up, yang dipakai ayahnya untuk bekerja sebagai buruh serabutan.
“Saya mengaku kepada atasan harus jalan kaki dari rumah, mereka tidak langsung percaya, dan mengecek rumah saya,” ujarnya.
Hidup Prihatin
Dengan segala keterbatasan ekonomi, Taufik perlu berjuang keras untuk dapat meraih cita-citanya menjadi anggota kepolisian. Terlahir dari keluarga tidak mampu, sejak kecil M Taufik Hidayat sudah terbiasa kerja keras untuk meraih apa yang diinginkannya.
Pendapatan ayahanya, Triyanto, yang hanya sebagai buruh bangunan terbilang pas-pasan untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari. Belum lagi untuk membiayai sekolah Taufik dan ketiga adik-adiknya. Tak jarang, Taufik harus menunggak biaya sekolahnya karena tak punya biaya.
Karena itu, demi dapat menyelesaikan sekolahnya dan membantu keuangan keluarga, Taufik rela ikut bekerja sebagai tukang gali pasir di Sungai Gendol.
“Saya bantu bapak menambang pasir di Sungai Gendol. Ya untuk biaya hidup dan biaya sekolah saya dan adik-adik,” ucapnya.
Menunda mimpi
Lulus dari sekolah menengah kejuruan (SMK), anak pertama dari empat bersaudara ini pun harus menahan cita-citanya mendaftar menjadi anggota kepolisian. Kebutuhan ekonomi memaksanya untuk bekerja di bekas sekolahnya, SMK 1 Seyegan, sebagai pembina Pramuka merangkap asisten perpustakaan.
“Honor saya dari pembina Pramuka dan asisten perpustakaan sekitar Rp 700.000,” tuturnya.
Pada awal Desember 2014 lalu, Taufik memutuskan untuk tidak melanjutkan pekerjaan di SMK 1 Seyegan. Ia membulatkan tekadnya untuk mendaftar sebagai calon anggota polisi di Mapolda DIY. Berkat kerja keras dan doa sang ayah, pada akhir Desember 2014 Taufik lulus dari tes Calon Anggota Polisi dan mengikuti pendidikan di Sekolah Polisi Negara Selopamioro, Imogiri, Bantul.
“Saya tidak percaya, sampai minta bapak menampar pipi. Bahkan saat di gerbang SPN saya masih tidak percaya,” ujar Taufik sambil tersenyum ketika mengingat satu fragmen dalam hidupnya.
Setelah lulus dengan pangkat Bripda, Taufiq menjalani karier pertamanya di Direktorat Sabhara Polda DIY. Namun, lagi-lagi karena tidak punya biaya dan kendaraan, setiap pagi saat berangkat
dinas, Bripda M Taufik Hidayat harus rela berjalan kaki sekitar 7 kilometer dari rumahnya di Dusun Jongke Tengah RT 04 RW 23 Desa Sendangadi, Kecamatan Mlati, Kabupaten Sleman, menuju Mapolda DIY.
“Bangun subuh, salat, lalu jalan kaki ke Mapolda DIY. Kadang kalau pas ketemu teman ya bonceng,” tuturnya.
Diakuinya, meski telah bangun subuh, tetapi dirinya sering terlambat masuk dinas. Keterlambatan itulah yang menuai kecurigaan dari atasannya. Setelah memberikan penjelasan dan mengecek kebenaran itu, atasan Bripda Taufik lantas meminjamkan motor pribadinya. “Sekarang saya dipinjami motor Pak Wadir Sabhara,” ucapnya.
Hidup prihatin
Seperti bola tenis, ketika dilempar dengan keras ke tanah maka lentingannya akan lebih tinggi ke atas. Seperti itulah tekad Bripda Taufik. Pahit getir dan kerasnya kehidupan yang dijalani anggota Sabhara Polda DIY sejak kedua orangtuanya bercerai menjadi kekuatan untuk melenting lebih tinggi.
Saat duduk di bangku SMP, Bripda Taufik harus menerima kenyataan pahit. Kedua orangtuanya bercerai. Rumah satu-satunya pun dijual oleh sang ibu.
Alhasil, Bripda Taufik bersama ayah dan ketiga adiknya harus pindah rumah. Namun, karena uang tidak mencukupi untuk membeli rumah, Triyanto selaku ayah memutuskan untuk mengontrak bekas kandang sapi di Dusun Jongke Tengah. Kandang sapi itu kemudian dialihfungsikan sebagai tempat tinggal.
“Per bulan bayar Rp 170.000. Ya memang seperti itu kondisinya. Lantainya masih tanah,” ucap Triyanto.
Rumah semipermanen berukuran 2,5 m x 5 m kondisinya memang memprihatinkan. Bahkan karena belum ada biaya, daun pintu dan dinding sisi utara dibiarkan terbuka. Untuk mengurangi embusan dingin udara malam dan tetesan air hujan, terpaksa pintu dan sisi yang masih terbuka ditutup dengan mengunakan spanduk-spanduk bekas.
Sekeliling bangunan yang ditempati Bripda Taufik pun merupakan kandang sapi yang dikelola kelompok masyarakat setempat sehingga bau menyengat kotoran sapi setiap hari harus dirasakannya.
Di dalam rumah semipermanen itu hanya ada dua kasur tempat tidur. Dua kasur dengan kodisi berlubang itu dipakai oleh lima orang, yaitu tiga adiknya, ayah, dan dirinya. Bahkan, ketika Bripda Taufik tidur di rumah, Triyanto mengalah untuk tidur di mobil pikap beralaskan tikar dan beratap langit.
“Saya senang kalau piket dan tidak pulang. Soalnya kasihan bapak kalau tidur di luar. Bapak sering mengalah tidur di bak mobil,” kata Taufik.
Melihat keadaan itu, di gaji pertamanya menjadi anggota kepolisian, Taufik berencana akan menggunakannya untuk mengontrak rumah yang lebih layak. Ini dilakukan demi ayah dan ketiga adiknya yang masih kecil-kecil.
“Nanti kalau gajian pertama, saya ingin gunakan untuk mengontrak rumah. Kasihan bapak dan adik-adik kalau tetap tinggal di sana,” tuturnya.